Generalisasi memanglah umum. Namanya juga generalisasi ya sudah pasti tak jauh dari yang umum. Tapi, generalisasi itu kadang hanya menyimpulkan bukan mendapatkan hal yang mutlak. Memang generalisasi itu terbentuk dari pengamatan banyak peristiwa dan momen. Tapi apakah kadang hasilnya selalu sama? apakah memang hasilnya selalu A dan tak ada yang B?
Misalnya, apakah seseorang selalu merindukan orang yang pernah dicintainya dulu? atau yang pernah bersamanya dulu? Ya, dalam anggapan dan pendapat orang yang didasarkan dengan fakta ya memang faktanya banyak yang seperti itu. Mantan memang merupakan fenomena yang banyak dibahas dalam roman. Tapi apakah 100 persen manusia seperti itu? Jelas tidak.
Karena tak ada yang 100 persen benar-benar seperti itu. Memang faktanya juga ada manusia yang tidak seperti itu. Ya, ada dua fakta disana yang dimana ada yang iya dan ada yang tidak. Bukan begitu?
Generalisasi memang berbeda. Ya, lain halnya dengan hal diatas dengan “apakah api akan mati ketika tersiram dengan air?”
Maka 100 persen jawabannya ya pasti akan padam. Itu fakta yang mutlak dan tak ada yang benar-benar berlawanan. Karena generalisasi itu lekat dengan orang yang malas berpikir atau menyimpulkan opini saja dan cenderung menyimpulkan dengan sekali pejaman mata.
Generalisasi sudah menjamur dikalangan sosial. Kadang memang tak salah menyimpulkan dengan fakta yang banyak sudah terjadi. Namun jangan lupa, label secara keseluruhan adalah yang benar-benar 100 persen terjadi. Kalau faktanya ada yang masih berlawanan maka label tak boleh diberikan.
Generalisasi kadang banyak disalahgunakan dalam masalah stigma, cap atau stereotip dalam sosial, ras, suku dan apapun itu. Kadang penyalahgunaan generalisasi adalah kanker bagi kenyamanan dan kerukunan. Karena faktanya generalisasi bukan kalimat kepuasan dalam menyimpulkan.
Generalisasi memang bisa dikatakan sebagai pembuktian namun tidak secara keseluruhan. Tapi yang terpenting, generalisasi bukan untuk kesimpulan akhir.
#cutecutters