Positivity tidaklah Positif

Siapa bilang sesuatu yang mengandung kata positif itu positif? siapa yang setuju bahwa mengambil sisi baik itu selalu positif? siapa juga yang yakin kalau positivity itu baik melulu? positif itu mutlak. Negatif dan positif itu mutlak, namun positif bisa saja negatif.

Toxic positivity, body positivity dan apapun itu memang benar adanya. Kehidupan akan berjalan dengan asumsi dan opini sana sini. Sebenarnya tak ada yang salah jika memandang positif apapun serta mengambil hal sisi yang terbaik. Hanya saja mengapa yang mengucapkannya adalah bukan orang yang tepat? kemudian mengapa yang melabelinya adalah orang yang notabene tak mengalaminya?

Jadi label positivity pun bukanlah dibuat atau bahkan diterima oleh orang yang sama. Orang-orang yang mengalami hanyalah orang kedua yang menerima petuah positivity ini.

“Bersabarlah, jangan terlalu cepat memutuskan! bertahanlah! masih banyak yang ingin mendapatkan hidup sepertimu!” begitu kata seseorang yang hidup dengan bahagia kepada temannya yang sedang mengalami kehidupan broken home.

“Semua orang cantik kok! hargai dirimu! semua pada karakter masing-masing!” begitu kata si cantik yang membuat bosan para pemilik paras yang tak secantik dirinya.

“Semangat! jangan nyerah! semua mudah kalau kita cermat mengaturnya!” begitu kata si pemilik privilege

Kadang berkata untuk menasehati orang lebih mudah daripada mengalami lalu menasehati diri sendiri. Mengalami itu memang berat, apakah masih sempat untuk mengambil hal positif dan bersabar sementara tekanan terus menghimpit dari arah yang berlawanan. Ya, memang harus, tapi ini sulit! lebih baik tidak usah terlalu melemparkan kata-kata manis di tengah kepahitan.

Setidaknya bantu untuk menghilangkan rasa pahit supaya hal manis bisa terasa penuh. Atau mungkin Kita belum mengerti sepenuhnya tentang positivity? sehingga Kita hanya menerima yang berbau dan tertulis positif positif dan positif saja? tak perlu mengalami, hanya tepatlah dalam bersikap.

Unpopular Opinion? bukan Sok Beropini kan?

Siapa yang tak suka es krim? Tentu semua orang bahkan hampir semua orang menyukai jenis makanan yang satu ini. Ya memang begitu bukan? Dari anak anak bocah kecil sampai yang tua pun menyukainya.

Pendapat orang bermacam-macam. Suka karena rasanya, suka karena tingkat kemanisannya dan apapun itu. Semua lahir dari merasakan dan mencoba. Itu bisa disebut dengan opini rata-rata banyak orang yang kemudian menjadi opini mayoritas.

Tapi yang tak menyukainya? Ya, ada! Walaupun jumlahnya kecil. Karena sebagian besar menyukainya, jadi kesimpulannya memang Es krim itu enak. Tidak ada yang salah, namun jika tidak suka? Tak masalah juga.

Walaupun kedengarannya aneh namun memang sah sah saja bukan? Walaupun jika mengucapkan opini tentang itu terasa aneh karena kontradiktif dengan banyak orang? Padahal itu pendapat kan? Mengapa aneh? Karena ya memang diperdengarkan di masyarakat yang menyukai Es krim. Itu saja! Hanya sesederhana itu kok.

Padahal mereka juga punya alasan kuat dibalik rasa enak Es krim. Misalnya mereka lebih memilih permen atau masalah kesehatan yang mereka canangkan.

Jika opini dikeluarkan kepada semua orang yang tak menyukai? Menjadi normal bukan? Unpopular opinion namanya, ya! Memang terasa aneh dan di cap sebagaimana sok paling berbeda ataupun subjektif.  Tapi nyatanya tak begitu.

Karena memang kita terlalu memandang opini dan selera lebih kepada kuantitas kebanyakan orang. Padahal tak ada di dunia ini yang 100 persen setuju dan sama mutlak. Absolut juga bisa dipatahkan dalam segi opini.

Nyatanya memang kita terlalu banyak bercermin kepada banyak orang saja. Namun populasi tak bisa dipandang secara kebanyakan. Opini dari populasi yang minoritas pun boleh berdasar.

Tak perlu malu jika berbeda atau kontra dengan kebanyakan. Karena memang opini tak bisa direkayasa. Banyak orang yang takut berbeda dan katanya berbeda itu sih aneh dan berbahaya.

Mengapa takut dengan perbedaan opini? Padahal manusia juga tak mungkin sama 100 persen. Semua warna diciptakan tak hanya satu. Semua selera juga berbeda dan jangan membohongi diri dengan melawan opini yang kita punya.

Unpopular opinion juga mungkin terasa tak bisa banyak diterima karena pada dasarnya kita terlalu dimanjakan dengan stigma dan label bahwa semua harus  mengikuti tradisi yang terbanyak. Semua juga di labeli sebuah kelaziman jika mengikuti yang terbanyak. Padahal ini pun hanya label dari mereka juga.

Jadi buat apa takut beropini? Opini boleh saja bertabrakan asal memiliki landasan dan mempertanggungjawabkan. Opini hanya tak boleh menabrak pada diri kita. Karena beropini bukanlah untuk seorang yang penakut. 

Objektif dan Opini

Dilarang menjadi orang yang subjektif,  begitu kata banyak orang. Ya, tapi kadang ada benarnya juga. Bagaimana jika dirimu dinilai secara subjektif? Ya, tentunya tidak ada keadilan.

Karena yang kenyataannya A tapi malah B dan berkebalikan dalam fakta itu kadang sulit diterima. Pastinya begitu bukan? Ya.

Tapi memang sulit jika dihadapkan dengan pendapat pribadi dan objektif dalam sebuah sisi. Pendapat itu berbeda-beda sedangkan fakta itu cuma satu.

Walau memang opini atau kebebasan berpendapat kadang dijunjung tinggi,  namun semuanya tahu bahwa memandang secara objektif itu penting dan nomor satu.

Tapi lebih dari itu, opini dan sisi objektif tidaklah ada yang salah. Karena yang salah ialah ketidaksesuaian menanggapi fakta serta balutan sentimen dalam mengungkapkan sesuatu.

Ketidaktahuan akan sesuatu mungkin bisa membuatmu salah menilai. Sementara informasi yang tak diketahui menyeluruh juga akan menggeser objektif menjadi subjektif serta menjelekkan opini. Maka memang semua harus tahu betul bahwa sejauh mana kita mengenal apa yang harus diungkapkan.

Opini bermacam-macam namun tujuannya pasti sama. Mengomentari dan menanggapi suatu hal dengan cara yang berbeda yang disebut opini namun harus kita tahu bahwa tetap saja harus sesuai kenyataan.

Tapi apakah sudut pandang itu beda? Kan semuanya berbeda? Manusia pun berbeda? Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya bukan cara, metode dan bagaimana cara mengungkapkan dari segi bahasa serta ekspresi.

Kesalahan terdapat kepada apakah semuanya sudah sesuai. Seperti kritik, sasaran masalah dan informasi sekecil apapun harus pada tempatnya. Sederhananya, jika sedang menilai sisi A maka nilailah tentang sisi A, jangan keluar konteks dengan menyambungkan A dan B dan sebagainya.

Opini itu benar-benar harus tepat sasaran dan bertumpu pada objektifitas. Jangan bertumpu pada sentimen, melihat variabel lain dan menjawab apa yang tak ditanya. Masalah gaya dan metode, semua terserah saja asalkan tetap pada jalurnya.

Memang benar, banyak diantara Kita yang berlindung pada opini, opini dan opini. Tapi sisi objektifitas memang nyata dan harus diperhatikan. Jangan membohongi diri dengan beropini melalui sentimen dan ketidaktahuan informasi.

Karena memang beropini harus berdasarkan fakta walaupun sudut pandang berbeda. Namun kenyataan didepan mata tak berbeda bukan? ini bukan soal fakta. Karena faktanya tak berubah, gaya pun berbeda dan tak masalah. Ini semua hanya soal kesesuaian dan tetap pada jalur yang semestinya.

Semua bebas dan boleh beropini, tapi semua juga dilarang untuk pura-pura buta dalam memandang.

#cutecutters

Catatan berbalut Pesan

Dari mata turun ke penilaian. Dari yang ada di ujung kepala sampai kaki pun boleh tak luput Dari pengelihatan. Apapun itu ya wajar saja sih karena semua Dianugerahi mata.

Semua boleh bilang a b c dan apapun itu bebas kok. Memang sih, kalau menilai itu nggak perlu sesuai dengan kenyataan. Menilai kadang tak perlu dibarengi oleh pengamatan, analisis bahkan mengenali terlebih dahulu.

Karena tidak perlu tahu begitu banyak untuk menilai. Cukup simpel dan sederhana saja untuk melabeli seseorang didepan mata atau yang melintas sekilas.

Semua boleh menilai tapi sekedar mengingatkan bahwa persepsi dan penilaian itu tak baku. Kenapa? Bukankah opini itu bebas? Tapi tunggu dulu. Opini manusia itu berbeda dengan fakta. Fakta jelas lebih diutamakan dan berlaku pada sekitar. Jadi baik dan buruk itu Berkaca pada fakta.

Sedangkan opini atau penilaian itu masih abu-abu dan cenderung belum mengenal tentang apa-apa dibaliknya dan yang melatarbelakangi suatu sebab seseorang bisa seperti itu.

Walaupun seorang yang cerdas atau penganalisis pun tentu belum bisa menjamin seseorang bisa menilai secara tepat dan akurat. Karena memang yang manusia terbatas penglihatan nya dan pengetahuan nya.
Pendapat memang bebas. Dan menilai juga oke oke saja. Tapi jika berlawanan 180 derajat dengan fakta hanya demi kepuasan dalam menilai itu gawat sekali. Anda bisa menilai suatu benda mati atau karya atau apapun. Namun jika menilai manusia maka bisa jadi bumerang,  efek dan dampak yang ditimbulkan.

Karena pada dasarnya penilaian orang itu tak bisa sepenuhnya ditanggapi dengan sikap “bodo amat”

Karena juga manusia memiliki hati, empati dan perasaan yang jika tak dirasa sesuai akan melawan.

Setajam dan hampir mendekati penilaian yang benar pun tidak bisa dilakukan semata-mata untuk memuaskan lisan.

Semua boleh menilai, tapi apakah kau sudah terlalu bernilai? Bahkan jika menilai diri saja belum bisa buat apa? Setidaknya membuat diri menilai itu lebih baik daripada menjadi tukang menilai orang lain. 

Teman atau Pasangan?

Pilihan dari judul diatas sangat klasik! semuanya bebas dan berbeda dalam menjawabnya. Ketika teman terasa menyebalkan pasti akan memilih pasangan. Namun ketika pasangan terasa membosankan, semua memilih berkumpul kepada teman. Ketika sedang haus cinta pasti memilih pasangan dan ketika sedang ingin hiburan pasti berlari kepada teman.

Ketika asyik bertemu dengan teman lama, kadang obrolan masa lalu lebih asyik daripada membicarakan masa depan hubungan dengan pasangan yang tak kunjung jelas. Lalu disaat mengadu, rata-rata lebih memilih pasangan karena alasan rahasia dan tidak akan menyebar layaknya kepada teman-teman. Saat sedang butuh membunuh sepi, teman-teman siap menghibur namun pasangan lebih tahu.

Keduanya bisa, pilih saja dan rasakan mana yang lebih enak? mana yang lebih nyaman? entahlah, kadang semua orang memprioritaskan pasangan dan teman sesuai dengan kebutuhannya. Sangat kurang bisa disimpulkan dan dijelaskan mengapa. Mereka juga punya kekurangan tapi Mereka pun punya dunia masing-masing.

Berbagai opini selalu memperdebatkan hal ini. Tidak apple to apple sih tapi menarik jika seseorang mengalaminya. Bukan sekedar beropini tanpa merasakannya, seseorang harus masuk ke dalam lingkaran pilihan tersebut. Ada yang memilih teman dan ada juga yang memilih pasangan. Sebenarnya fungsi kehadiran Mereka bisa dibilang berbeda sekalipun jika sedang lelah semua orang bebas memilih kepada siapa Ia datang.

Menempatkan pertemanan dan asmara kepada posisinya tak mudah. Seorang teman kadang rindu berkumpul karena temannya lebih asyik kepada pasangannya.

“Lupa ya sama temen kalo udah punya pacar!” Salah satu kalimat yang sering terucap di dunia nyata, novel, cerita fiksi dan bahkan pengalaman sebagai korban atau pelaku.

“Kenapa lebih asyik dan milih temen sih!?” Ucap seorang pasangan yang kadang heran dengan si Pria. Pasangannya lebih memilih bermain dengan temannya hingga lupa waktu.

Bingung? semua juga sama. Sisi lingkungan pertemanan dan asmara selalu muncul dan dibutuhkan. Tak bisa memadamkan salah satunya apalagi keduanya. Teman membantu dalam perjalanan hidup begitu pula pasangan yang membantu perjuangan dalam hidup yang posisinya berbeda.

Ketika pasangan yang mengerti, perhatian dan menerima apa adanya dihadapkan dengan teman yang memiliki solidaritas, selalu membantu dan mempunyai kepedulian tinggi lalu bagaimana cara memilihnya? atau Mereka lah yang harusnya memilih? Mempunyai teman yang sejati dan memiliki pasangan yang mencintai adalah anugrah. Menghapus salah satu dari Mereka bukanlah bentuk bersyukur.

Tidak usah pusingkan dan permasalahkan. Kadang hidup butuh kebingungan, sindiran dan pilihan. Pilihan bukan cuma memilih satu dan membuang semuanya. Pilihan tergantung kepada siapa yang didahulukan sesuai waktu dan posisinya tanpa melupakan pilihan lainnya. Mereka juga punya kehidupan. Teman-teman juga mempunyai pasangan dan teman juga.

Meletakkan pada posisi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya pada sebuah keadaan. Hanya perlu menggesernya sedikit tanpa harus menghapusnya.

Dan begitulah seterusnya.