Romansa dan Pandemi

Berapa banyak kegagalan pertemuan dengan pasangan akibat pandemi? Berapa banyak rencana gagal akibat pandemi? Berapa banyak juga yang harus berjauhan ketika sedang dekat-dekatnya? Berapa banyak yang terabaikan fokusnya karena pandemi ini? sampai hampir dua tahun bahkan.

Ini semua berawal di awal 2020 khususnya bagi setiap pasangan yang mempunyai romansa. Entah baru tumbuh atau sudah sebelumnya, jelas ini mengganggu. Padahal berharap 2021 akan menjadi titik awal berakhirnya pandemi dan berawalnya romansa yang sedang dilukai oleh virus.

Percayalah ini tak mudah! Sementara disana memang kesehatan dipertaruhkan. Bagaimana bisa mencintai dengan ancaman kesehatan? Bagaimana juga bepergian bersamanya dengan bayang-bayang ketakutan? Sehingga masalah bertambah soal kesehatan tiap tiap dua insan.

Ketika Ia hanya bisa menjawab “Tunggu pandemi berakhir yah” dan reaksi pasangannya pasti menyelipkan kesedihan dan kekecewaan. Ya, menghitung hari tidak semudah itu. Karena memang menunggu hari itu jelas membutuhkan kesabaran ekstra.

“Aku mau bertemu! Tapi kapan?” Jika pertanyaan ini diucapkan apakah bisa membalas dengan pertanyaan dengan jawaban yang berbeda selain jawaban untuk menunggu, sabar dan tabah? Ini sulit.

Tidak semudah itu untuk meyakinkan dan menanamkan kesabaran dalam setiap tujuan. Harapan jika dijatuhkan memang pasti sakit sekali. Tidak semua orang menerimanya. Jadi bagaimana? Bersabarlah kembali untuk masa yang lebih baik.

Melihat pemandangan yang tak biasa hari ke hari memang menyedihkan. Biasanya menghitung angka tanggal hari jadi dan berita menyenangkan darinya kini malah menjadi angka kematian dan ungkapan ketakutan dari dirinya.

Pembahasan dari jarak jauh untuk sekedar berbicara pun harus ditambah dengan kata-kata “stay safe!”atau “jaga kesehatan ya!”.

Setidaknya bentuk kepedulian Kita hanyalah memahami keadaan yang sulit ini. Untuk Ia yang belum bisa bersabar, pahamilah bahwa ini bukan yang Kita inginkan. Pahamilah juga bahwa semuanya juga mengalaminya.

Silahkan bersedih, silahkan bersabar namun jangan menyerah. Karena pada dasarnya Kita semua harus bangkit menyemarakkan romansa untuk tetap hidup.

Kebahagiaan romansa itu juga aspek penting disamping ekonomi dan kesehatan. Masyarakat membutuhkan kebahagiaan dari orang-orang yang dicintainya.

Pandemi harus hilang,  namun romansa harus tetap ada. Baiklah, setidaknya tahun 2022 haruslah berwarna kembali. Bukan terinfeksi kembali. 

#Catatan pertengahan tahun pertengahan pandemi

Masa Pandemi bisa Membuat Kita Menjadi Ablutomania?

Ablutomania adalah sebuah gangguan psikologis yang menyebabkan seseorang mempunyai kebiasaan berlebihan untuk membersihkan diri demi tujuan steril. Biasanya Mereka selalu melakukan kegiatan cuci tangan, membawa banyak tisu dan mandi dengan jumlah diatas normal.

Kondisi psikologi ini memang sudah digolongkan kepada kelainan. Disamping karena gejalanya, kondisi ini juga berimplikasi kepada stress, ketakutan berlebih dan paranoid yang tak masuk akal.

Di masa pandemi covid 19 atau corona ini, Kita dikampanyekan selalu mencuci tangan, manjaga jarak dan memakai masker. Tentu bagi penderita gangguan ablutomania ini termasuk hal yang Mereka sudah tahu dengan baik bahkan sebelum adanya pandemi virus covid 19 atau covid 19 ini.

Namun, pernahkah memperhatikan bahwa covid 19 atau masa pandemi ini bisa menjadikan Kita seorang Ablutomania? contohnya pun banyak disekitar. Ada yang sudah menjadi penderita ablutomania, ada yang biasa saja bahkan masih tidak sama sekali memperhatikan kesehatan.

Lalu, bisakah Kita menjadi seorang ablutomania? jawabannya bisa. Mengapa? jika Kita menanggapi musim pandemi ini sebagai ketakutan dan bukan berorientasi kepada kesehatan.

Bagaimana kondisi psikologis manusia ketika berita menampilkan korban jiwa meninggal atas keganasan virus ini? lalu ambulance yang mondar-mandir serta penjemputan pasien yang telah positif corona? Tentu beragam dan sifatnya aneh-aneh bukan? Sebenarnya dalam menghadapi ini, harus bertujuan positif misalnya, “Kita ingin terhindar dari virus ini dan yakin Kita akan selalu sehat serta bisa melewati ini”. Bukan dengan anggapan pesimis bahwa “Kita semua bisa tertular”.

Ablutomania sudah digolongkan sebagai gangguan dan bukan lagi kebiasaan yang diwajari. Kenapa? karena ablutomania itu berdasarkan pada trauma, ketakutan dan paranoid yang muncul menyerang pikiran-pikiran manusia sehingga akan selalu berlebihan dan menampilkan reaksi yang berlebihan pula.

Semua bisa menjadi seorang yang mengidap ablutomania dan bisa juga tidak mengidap ablutomania berdasarkan akal sehat. Ablutomania juga akan membuat efek buruk. Bagaimana tidak? virus ini berdampak buruk bagi fisik ditambah lagi kesehatan mental yang buruk seperti ablutomania.

Semua ditangan Kita masing-masing. Kita tidak boleh takut namun waspada karena Kita juga masih punya aktivitas serta kegiatan yang tidak boleh berhenti di masa pandemi ini.

Semoga Bumi ini kembali sehat dan sentosa..